Info Sekolah
Rabu, 20 Agu 2025
  • Selamat Datang di Website Resmi LP2M UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda
  • Selamat Datang di Website Resmi LP2M UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda

JUJURAN: ANTARA TRADISI DAN KOMERSIALISASI PEREMPUAN

Terbit : Senin, 11 Agustus 2025

Oleh: Lilik Andar Yuni

Perkawinan bagi masyarakat Muslim bukan sekedar legal formal, namun juga mencakup nilai social, ekonomi, adat serta aspek psikologis.(Idrus et al., 2023, p. 849) Salah satu hal yang harus ada mengiringi proses keberlangsungan perkawinan adalah pembayaran mahar. Di beberapa daerah Indonesia, mahar dipilah menjadi mahar Islam dan mahar adat. (Wardatun, 2018, p. 150) Mahar adat nampak pada tradisi jujuran pada suku Banjar, (Khasanah et al., 2020) Belis pada daerah NTT (Sarong & Gana, 2021), uang japuik di Padang,(Asmelinda et al., 2023) atau  uang panai (Fitriyani, 2022) atau doi menre (Pattiroy & Salam, 2016) pada suku Bugis.

Dalam kajian Mappatunru dkk (Mappatunru et.al, 2023) tradisi uang jujuran/ uang panai berkenaan dengan kehormatan perempuan sebagai cerminan dari gagasan tentang siri’. Tradisi tersebut juga dimaknai sebagai bentuk tanggungjawab, kerja keras, dan kerelaan laki-laki untuk meminang secara sah perempuan yang ingin dinikahinya. Menurut Yansa et. al (2016), kerelaan tersebut dimaknai sebagai motivasi, alih-alih sebagai beban bagi laki-laki. Suami ideal dalam masyarakat Bugis adalah suami yang mampu mattuliling dapureng wekka petu (mengelilingi dapur sebanyak tujuh kali) (Idris, 2003: 99). Dalam ungkapan tersebut, dapur berkenaan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan yang disadur dari ungkapan Bugis Bone “aju, ukkaju, sibawa waju” yang berarti kayu, sayur mayur, dan baju (Fatimah, 2017).

Tradisi jujuran jika ditilik dari perspektif Max Seller setidaknya terdapat empat nilai; (1) nilai kenikmatan; artinya, pemberian uang jujuran memberikan kegembiraan dan kesenangan antara laki-laki dan perempuan; (2) nilai kehidupan, mengajarkan serta memotivasi pihak laki-laki agar bekerja keras untuk membahagiakan pasangannya; (3) nilai spiritual, bahwa adanya uang jujuran berarti telah mengangkat harkat dan martabat baik laki-laki maupun perempuan; (4) nilai kerohanian, bahwa tradisi  ini memberikan makna positif  atas kelancaran menempuh mahligai rumah tangga sebagai penyempurna ibadah (Fitriyani, 2022).

Paparan ini menegaskan bahwa secara historis, tujuan awal uang jujuran adalah bentuk penghargaan dan tanggung jawab calon suami kepada calon istrinya, serta kesiapan pihak laki-laki untuk memasuki gerbang perkawinan. Dalam konteks ini, jujuran tidak bersifat transaksional, melainkan simbolik—ia melambangkan itikad baik, kesanggupan ekonomi, dan kesiapan membentuk rumah tangga. Dalam berbagai komunitas adat, jujuran juga menjadi mekanisme sosial untuk mempererat hubungan antar-keluarga dan memperkuat solidaritas komunitas.

Ironisnya, makna simbolik itu kini mulai tersisih oleh nominal angka. Saat pihak laki-laki datang melamar, pertanyaan yang diajukan bukan lagi” apa niat dan kesungguhan laki-laki”, tapi “berapa yang dibawa?”. Ketika nilai jujuran ditentukan berdasarkan status social, pendidikan, atau bahkan tampilan fisik, perempuan secara tidak langsung telah menjadi objek yang dinilai, ditakar, dan dihargai dengan nominal uang.

Tradisi jujuran dalam pernikahan awalnya dimaksudkan sebagai simbol penghargaan dari mempelai laki-laki kepada keluarga perempuan. Dalam konteks kekinian, tradisi ini mengalami pergeseran makna menjadi ajang “pembayaran”, menjadikan perempuan seperti komoditas, yang memiliki nilai tukar tertentu. Sinyalemen komersialisasi perempuan dalam praktik initerlihat pada indicator berikut: (1) nominal jujuran berdasarkan tingkat pendidikan, status social, serta tampilan fisik; (2) memiliki anak perempuan merupakan bentuk investasi bagi keluarga; (3) ada ajang negosiasi dalam menentukan nominal uang jujuran.

Dalam perspektif Fungsional structural (Talcot Person, 1951), tradisi ini dapat memperkuat solidaritas social dan nilai integrasi dalam masyarakat. Selain itu juga ikut menjaga struktur keluarga dan menjamin keselarasan antar keluarga.

Meningkatkan nominal jujuran dalam praktik sehari-hari menimbulkan pertanyaan kritis: apakah perempuan telah direduksi menjadi objek komersial dalam institusi pernikahan? Ketika nilai jujuran ditentukan oleh status social, tingkat pendidikan atau tampilan fisik perempuan, maka telah terjadi objektivikasi perempuan, di mana nilai perempuan diukur dengan parameter ekonomi.

Kondisi ini merupakan bentuk ketidaksetaraan gender yang dilegitimasi oleh tradisi. Perempuan tidak lagi menjadi subjek yang aktif dalam menentukan makna pernikahan, tetapi menjadi objek dalam system yang dibentuk oleh kepentingan ekonomi, status dan struktur patriarchal.

Tradisi jujuran menjadi dilematis, antara menghormati nilai-nilia adat dan menolak praktik jujuran yang dinilai merendahkan martabat perempuan. Terdapat beragam pendapat dalam menyikapi hal ini.  Sebagian menganggap, jujuran merupakan  parameter nilai perempuan, sementara sebagian mencoba menegosiasikan nilai jujuran yang lebih manusiawi, bahkan sebagian yang lain menolaknya sama sekali.

Perdebatan di atas menunjukkan adanya tensi antara pelestarian budaya dan tuntutan kesetaraan gender. Di satu sisi, tradisi ini merupakan warisan budaya yang sarat akan makna. Di sisi lain, apabila tidak direfleksikan secara kritis, akan menjadi alat legitimasi atas praktik yang mendeskriditkan perempuan.

Untuk itu diperlukan refleksi kritis dengan maksud untuk meninjau kembali makna dan relevansinya dalam konteks kekinian. Upaya pelestarian tradisi dan budaya harus disertai dengan kesadaran akan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender, penghormatan atas harkat dan martabat manusia.

Peran stake holder, yakni Pemerintah daerah, tokoh adat, serta lembaga pendidikan sangat urgen dalam membangun narasi baru tentang tradisi jujuran yang lebih humanitiy. Edukasi tentang nilai-nilai kesetaraan gender dalam konteks adat perlu diperkuat. Begitu pula dialog antar generasi penting dilakukan agar tradisi ini tidak menjadi alat penindasan antar jenis kelamin.

Pemberian uang jujuran tidak sekedar persoalan adat, namun ada korelasinya dengan persoalan kemanusiaan. Di era globlalisasi perubahan merupakan keniscayaan. Untuk itu, tradisi yang masih berlaku di masyarakat tidak bisa terlepas dari kritik dan perbaikan. Tradisi jujuran tujuan awalnya adalah sebagai bentuk penghormatan dan keseriusan calon mempelai laki-laki dalam memasuki mahligai rumah tangga, tidak seharusnya menjadi ajang komersialisasi yang merugikan perempuan. Yang perlu dilestarikan adalah esensi penghormatannya, bukan ajang komersialisasi yang merendahkan martabat perempuan. (wallahu a’lam bis showab).

Artikel Lainnya

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar